Etika Bersosial Media
Ada istilah tentang sosial media: "kalau mau debat di facebook, kalau mau diskusi kerjaan di linkedin, kalo mau pansos di instagram, kalo mau nyampah di twitter."
Yap, betul! Sosial media emang ada klasifikasinya masing-masing, sesuai sama karakter kebanyakan penggunanya.
Facebook, yang notabene adalah sosmed sejuta umat, dimana jumlah penggunanya udah mencapai angka 2,2 miliar, sedangkan untuk di Indonesia sendiri, pengguna sosmed yang mulai eksis tahun 2004 ini jumlahnya ada 120 juta! Penetrasi facebook di negara kita bisa dibilang udah merata, dari kota sampe ke pelosok. Bermacam aneka manusia dari berbagai strata sosial menggunakan facebook. Gak peduli dia lulusan S3 Harvard, lulusan STM bangunan, atau yang gak lulusan mana-mana. Wajar kalo gak semua orang bisa berperilaku smart waktu make facebook.
Beda dengan instagram yang jumlah usernya baru setengah dari facebook, yakni sekitar 1 miliaran. Di sosmed berbasis foto itu, kebanyakan orang muncul buat mamerin bandanya. Mulai dari rumah, mobil, pakean, asesoris, knalpot motor, penggorengan, termos, baskom, sampe skincare buatan Kosambi mereka riya-in. Dampaknya? Mereka berhasil memicu para followersnya masing-masing buat ngikutin apa yang mereka lakuin. Para followers akun-akun gede, ikut mamerin apa yang dipunya - meskipun sebenernya nggak punya. Miris..! Karena kadang, yang bukan kepunyaan mereka pun (semisal pacar orang), itu dipamerin di akun mereka, dengan status kepemilikan yang diklaim sepihak.
Sementara twitter, yang sekarang mulai rame lagi, sering kebanjiran tweet-tweet galau dari abege-abege yang mungkin pipis ke kamar mandi aja masih dianterin sama nyokap. Maklum, menurut Omnicore, 80% pengguna twitter adalah millenial - meskipun yang sekarang usianya 36 juga masih bisa dikatakan millenial.
Diantara 500 juta tweet yang terlontar setiap harinya, kebanyakan isinya berkutat soal galau karena dimodusin, diPHP-in, kelamaan sendiri, jagain pacar orang, sampai ke urusan kekosongan kegiatan di malam minggu - selain tentunya jelek-jelekin pemerintah atau bagus-bagusin pemerintah. Semua ada.
Kalo untuk linkedin, biasa dipake para staff untuk ngejilat-jilat atasannya dengan cara ngasih like buat apapun yang diposting sama atasan, ngasih komen "hebat sekali, pak!", "luar biasa, pak", sampe ke "terima kasih sudah berbagi" ..itu jadi hal biasa. Sementara para atasan, seneng banget share motivasi yang menceritakan perjuangan dia dan/atau teman/kerabat/relasinya yang mulai dari 0 bak pom bensin, sampai dengan level sukses. Banyak juga post tentang tips menghadapi persoalan di kantor, menyiasati keuangan, sampai menghadapi kehadiran orang-orang aneh di lingkungan pekerjaan. Padahal, mereka juga bisa mencicipi posisi "atasan" kemungkinan bukan karena usaha. Mereka juga stress sama kerjaan mereka.. makanya mereka maenan linkedin.
Tapi satu hal yamg harus diperhatikan waktu menggunakan linkedin. Jangan pernah caper sama marketing, sekretaris, personal assistant, flight attendant, atau siapapun yang dirasa cakep. Kalo nggak, siap-siap aja dihardik orang banyak. Soalnya, mereka katanya gak mau kalau linkedin dibikin jadi media untuk flirting. Apalagi sampai kurang ajar.
Jadi bagian dari perubahan sociocultural behavior dari konvensional ke digital, membuat kita harus smart dalam menyikapi fenomena ekosistem sosial media. Diharapkan, kita bisa lebih sadar dalam menggunakan berbagai platform. Meski ada tagline "what you see me on sosmed isn't what on real life" atau "You can't believe everything you see in social media", tapi tetap saja. Sosial media adalah ruang publik. Sudah selayaknya kita menjaga etika ketika berada di ruang publik. What happens in Vegas, stays in Vegas.. don't be in Facebook, Twitter, Instagram, LinkedIn, Youtube.. apalagi P*rnH*b.
Jadilah generasi cerdas yang bisa memanfaatkan teknologi untuk kemajuan, bukan degradasi moral.
Bagikan Ke Orang Lain :